Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
وَلَوۡ شَآءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ ٱلنَّاسَ أُمَّةً۬ وَٲحِدَةً۬ۖ وَلَا يَزَالُونَ مُخۡتَلِفِينَ (١١٨) إِلَّا مَن رَّحِمَ رَبُّكَۚ وَلِذَٲلِكَ خَلَقَهُمۡۗ وَتَمَّتۡ كَلِمَةُ رَبِّكَ لَأَمۡلَأَنَّ جَهَنَّمَ مِنَ ٱلۡجِنَّةِ وَٱلنَّاسِ أَجۡمَعِينَ
"Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Tuhanmu [keputusan-Nya] telah ditetapkan: sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia [yang durhaka] semuanya." (QS. Huud [11] ayat 118-119).
![]() |
Aksi 212 2016. (Foto: ANTARA/Sigid Kurniawan) |
Jumat (2/12/2016) pagi jam 10:00 di kawasan Marina Bay Singapore, saya meeting dengan Jonathan, partner bisnis saya, seorang Cina Singapura beragama Katolik.
Dia Doktor lulusan salah satu universitas terbaik di Amerika Serikat, dia mantan banker yang sekarang jadi konsultan keuangan untuk investor Timur Tengah yang bergerak di dunia penerbangan.
Sebelum meeting, tiba-tiba dia bertanya kepada saya, "Bukankah di Jakarta sekarang lagi ada demo besar-besaran 212, Pak Nur?"
"Oh kamu tahu juga ya?" Begitu ujar saya. Ternyata dia tahu dari media massa di Singapura.
Saya lantas menunjukkan TV live streaming di Android saya yang memperlihatkan jutaan manusia berjubel di Monas dan jalan protokol sekitarnya di Jakarta Pusat, serta menyambung dengan lautan manusia yang tumpah ruah di Bundaran Bank Indonesia.
"How amazing is it?" Begitu komentar Jo setengah tak percaya.
"Berapa banyak manusia kah ini? Saya perkirakan antara 2-4 juta jiwa. Ini sudah lebih dari separuh penduduk Singapura (5,5 juta jiwa)," ujarnya menjawab pertanyaannya sendiri.
Sebagai seorang "profesional" yang selalu bekerja secara terencana dan sistematis, dia lantas melempar rentetan pertanyaan:
"Berapa lamakah perencanaan demo ini?"
"Siapakah yang memimpin demo ini?"
"Bagaimana cara komunikasi antara pemimpin dan peserta demo?"
"Bagaimana mengatur transportasinya?"
"Bagaimana mengatur logistiknya?"
"Bagaimana mengatur fasilitas pendukungnya (ambulans, toilet dll)?"
"bagaimana mengatur tempatnya?"
Saya hanya bisa menggeleng sambil berucap, "saya nggak tahu Jo."
Lantas Jo pun bergumam sambil geleng-geleng kepala,"Saya nggak percaya, ada orang/organisasi di manapun di dunia ini (note: dia sering melanglang buana) yang sanggup menggerakkan orang sebanyak itu dalam waktu singkat, impossible (tidak mungkin). Pasti ada kekuatan besar diluar manusia yang menggerakkannya."
Diskusi kami pun beralih ke alasan dan penyebab demo. Rupanya si Jo ini tau juga dari media massa Singapura, bahwa ini merupakan rentetan unjuk rasa umat Muslim Indonesia akibat kasus penistaan agama oleh Guberbur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Gantian, sekarang saya yang bertanya kepadanya,"Bagaimana pendapatmu tentang hal ini Jo?"
Jo lantas menjawab, "Ini sih konyol dan sangat fatal. Bagaimana mungkin seorang Gubernur melecehkan agama yang dipeluk oleh mayoritas warganya sendiri?"
"Masalah agama sangat sensitif, apalagi menyangkut Kitab Suci yang menjadi pedoman hidup pemeluknya, yang lantas dinistakan oleh orang yang beragama lain," ujarnya.
Lantas dia lanjutkan, "Ibaratnya ada tamu yang datang ke rumah Anda, lalu dia menghina isteri Anda, wah isteri Anda jelek, jorok, bau, bla bla... ya sangat wajarlah kalau Anda, anak-anak dan keluarga Anda marah."
Ternyata Jo juga tahu karakter Ahok yang suka marah-marah dan mengeluarkan kata-kata kotor. Lantas dia pun bertanya sambil keheranan, "Bagaimana mungkin orang seperti ini bisa terpilih jadi Gubernur di Ibu Kota negara Anda, Pak Nur?"
Saya langsung jawab, "Dia jadi Gubernur DKI karena menggantikan Jokowi yang naik jadi Presiden RI, jadi yang dipilih rakyat DKI waktu itu adalah figur Jokowi, bukan Ahok."
"Oohh gitu ya," ujarnya maklum.
Lantas iseng-iseng saya ganti bertanya kepadanya, "Apakah orang seperti Ahok bisa jadi pemimpin di Singapura, Jo?"
Saya menanyakan hal ini karena ingar, ada pihak yang pernah mengatakan, jika Ahok tidak dikehendaki di Jakarta, dia bisa jadi gubernur di Hongkong atau di Singapura, jadi rakyat Jakarta yang rugi.
Dia pun tertawa sambil menjawab, "No way, Pak Nur. Di Singapura seorang pemimpin harus mempunyai standar moral dan etika yang tinggi, dia harus mengayomi dan bukan mencari musuh. Dia harus bisa jadi teladan bagi warganya."
"Tidak layak bagi pemimpin di Singapura untuk marah-marah dan mengeluarkan kata-kata kotor/tidak pantas kepada warganya di depan publik, apalagi sampai melecehkan keyakinan warganya," ujarnya.
"Bukankah dia pekerja keras, bersih, jujur, performance-nya bagus dan diakui orang banyak?" sergah saya.
Dia pun ketawa lagi sambil menjawab, "Bagi kami, Ahok hanyalah seorang hard worker, Pak. Dan bukan seorang pemimpin."
"Loh koq?"
"Kalau Aanda bekerja keras dan mengikuti aturan (termasuk tidak boleh korupsi) pastilah performance Anda bagus, seperti kami-kami ini, para profesional di Singapura," katanya.
"Ooh gitu ya," ucap saya sambil nyeruput kopi.
Lantas kami pun back to laptop, kembali ke topik diskusi, membahas potensi dan rencana investasi di bisnis penerbangan di Indonesia.
Wallahu a'lam bish-showab.